BAB I
Awal Kehadiran Orang Belanda
Sejak lama sebelum kedatangan bangsa Belanda di Kepulauan Indonesia, orang india, Cina, Arab dan Portugis telah hadir di Pulau Jawa. Masing-masing membawa kebudayaannya sendiri. Pada awal kehadirannya, mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang memiliki modal besar untuk mendirikan gudang penyimpanan barang dagangan dan kantor dagang. Kemudian memperkuatnya sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal, juga untuk bersaing dengan pedagang-pedagang bangsa lain. Hal semacam itu juga diterapkan di kota-kota di Pantai Utara Jawa, seperti Semarang dan Surabaya.
Jan Pieterzoon Coen, yang hadir di Batavia pada 1619, mendirikan kota Batavia yang diawali dengan membangun gudang penyimpanan barang dagangan, yang kemudian diperkuat dengan perbentengan. Untuk menghindari luapan banjir, Coen membuat sejumlah terusan (kanal). Semua bangunan itu semula berada di dalam lingkungan tembok benteng kota. Pada 1650, kota Batavia sudah menjadi kota benteng dengan luas ± 150 hektar.
Benteng semacam ini merupakan tempat tinggal orang Belanda di Pulau Jawa dan kehidupan sehari-hari berpusat dibenteng. Rumah tinggal para pejabat serta harta mereka, seperti arsip, uang, dan kekayaan lainnya, disimpan didalam benteng. Karena keamanan diluar benteng makin terjamin dan perlawanan rakyat disekitarnya semakin berkurang. Meskipun semua kegiatan pemerintahan dan pesta-pesta masih tetap berlangsung di dalam benteng. Dengan kata lain, semua detak jantung kegiatan ekonomi Kompeni berlangsung di dalam benteng.
Gubernur Jendral Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal didalam benteng. Sementara itu, penguasa VOC sudah membangun pos-pos penjagaan yang diperkuat dengan benteng-benteng kecil, seperti yang berada di Ancol, Jacatra, Rijswijk, Noordwijk, Vijfhoek, dan Angke.
Para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman yang luas, yang lazim disebut landhuis. Contoh peralihan menuju kebentuk rumah gaya Indis yang dibangun pada abad ke-18 antara lain rumah di Japan, Citrap dan Pondok Gede. Terdiri atas keluarga inti dengan puluhan bahkan ratusan budaknya. Gaya hidup di landhuizen seperti itu tidak dikenal dinegeri Belanda. Kemudian mereka memindahkan tempat tinggal mereka ke pemukiman baru didaerah pedalaman Jawa. Mereka beranggapan bahwa daerah pedalaman lebih baik dan sehat. Akibat desakan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan iklim, alam sekeliling, kekuasaan, dan tuntutan hidup sesuai dengan daerah tropis. Untuk kepentingan ini, mereka pun mengambil unsure budaya setempat.
Alat perlengkapan rumah tangga tradisional Jawa yang biasa digunakan masyarakat setempat juga mengalami perubahan. Dengan demikian, kebudayaan Barat (Belanda) dalam hal gaya hidup berumahtangga sehari-hari dan system ekonomi, system kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi-ikut terpengaruh pula. Tujuh unsure universal budaya yang merupakan campuran unsur budaya Belanda dan budaya Pribumi inilah yang disebut kebudayaan Indis. Gaya hidup Indis juga berpengaruh pada keluarga Pribumi dalam sector pendidikan serta pergaulan sehari-hari dalam pekerjaan perdagangan dan bangunan rumah tinggal karena rumah tempat tinggal merupakan area kegiatan keluarga sehari-hari.
Tentang bangunan rumah tradisional. Parmoto Atmadi menyebutkan bahwa pengertian “arsitektur tradisional” tidak selalu sama, karena perkembangan arsitektur merupakan sesuatu yang dinamis, serta karena pemenuhan kebutuhan biologis dan psikologis manusia yang selalu berubah-ubah. Bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional oleh Berlage disebut dengan istilah “Indo-Europeesche Bouwkunst”. Van de Wall menyebutnya dengan istilah “Indische Huizen”, dan Parmono Atmadi menyebutnya “Arsitektur Indis”. Penyebutan itu berujuk pada cirri-ciri khusus bangunan pada suatu kurun waktu. Penggunaan istilah ini memang berhubungan dengan ranah historis dan semua itu dipengaruhi oleh masa colonial (Barat).
Dibawah pemerintahan colonial pada 1870, banyak perusahaan swasta dibidang perkebunan, pelayaran, perbankan, dan perkeretaapian, memerlukan banyak tenaga terampil. Tenaga buruh kasar diambil dari desa-desa di Jawa. Tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah maupun menengah diambil dari suku Jawa yang berpendidikan sekolah, sedangkan pejabat tinggi lainnya banyak didatangkan dari negeri Belanda. Pada saat itulah berkembang percampuran gaya hidup Belanda dan Jawa yang disebut gaya hidup Indis.
Suburnya budaya Indis, pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Saat itu, ada larangan membawa isteri dan mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda. Hal tersebut mendorong lelaki Belanda menikahi penduduk setempat. Maka terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran. Pada 1870, Terusan Suez dibuka. Terusan tersebut memperpendek jarak antara Negara Belanda dengan Indonesia, sehingga kehadiran perempuan dari Negara Belanda makin banyak ke Indonesia. Kehadiran perempuan Eropa ke Indonesia pun memperluas percampuran budaya.
Kata “Indis” dalam tulisan ini berasal dari bahasa Belanda “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda diseberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie. Penggunaan istilah gaya hidup Indis dalam pembahasan ini dikhususkan pada kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pendukungnya yang terbentuk semasa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, khususnya di Jawa. Istilah Indis dikenal makin luas oleh masyarakat dengan berdirinya partai-partai polotik, seperti Indische. Adapula partai Indische Bond yang banyak diikuti oleh masyarakat Indonesia-Belanda.
Kata “Indis” bagi bangsa Indonesia pada masa tertentu dirasakan sebagai kata hinaan, biasa digunakan untuk menyebut bangsa kelas rendah. Kata “gotik” dan “barok” mempunyai arti yang juga berkonotasi kurang baik. Kata “gotik” dari kata “goth” dan “gothia”, yaitu nama dari salah satu suku bangsa dari Eropa Utara, pengembara yang menyerang dan menduduki Roma pada awal abad ke-1 dan dipanadang sebagai bangsa yang bermartabat rendah. Demikian pula dengan gaya seni Barok (abad ke-16 sampai abad ke-18). Kata “barok” dari bahasa Portugal “barocco”, artinya bulat panjang, tak beraturan, berlebihan, banyak bertingkah (ugal-ugalan), dan tampak suka pamer. Jadi sebagai suatu istilah, “Barok” tidak enak untuk didengar, tetapi sebagai hasil karya seni, kata tersebut memiliki makna keindahan dan kemegahan tersendiri dihati pendukungnya, antara lain Rembrandt van Rijn dan Velasque, yang juga memiliki cirri khusus pada zamannya.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan satu fenomena historis karena menghasilkan karya budaya yang ditentukan oleh berbagai factor, antara lain factor politik, social, ekonomi, dan seni-budaya dengan semua interrelasinya. Pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup serta membangun gedung dan tempat tinggalnya dengan menggunakan ciri-ciri dan lambang yang berbeda dari rakyat yang dijajahnya. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya. Apa yang ditulis didalam karya Berlage, Van de Wall, dan Peter J.M. Nas, lebih terfokus pada gaya bangunan secara umum. Dalam karya mereka tidak terdapat pembahasan tentang manusia penciptanya sebagai penddukung kebudayaan Indis yang berkembang dalam lingkup spasial yang meliputi kurun waktu dari abad ke-18 sampai medio abad ke -20. Juga terdapat karya De Haan, Breton de nijs, Buiten Weg, dan Bea Bromer tentang kehidupan masyarakat Indis. Karya-karya para penulis tersebut tidak terkait dengan tujuh unsur universal budaya, sehingga pembahasannya terasa terlepas satu sama lain, terpenggal-penggal seolah-olah seperti hasil bidikan pemotretan yang terpisah.
Pemahaman gaya hidup dan seni-budaya Indis dalam segala aspeknya akan mudah dipahami jika dihubungkan dengan tujuh unsur universal kebudayaan. Hubungannya budaya campuran antara budaya Indonesia dengan budaya Barat (Belanda). Untuk itu, tulisan Clyd Cluckhohn tentang tujuh unsur budaya universal sebagai alat (sarana) memahami kebudayaan universal dapat menjadi referensi yang sangat penting untuk memahami kebudayaan Indis. Hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat suku Jawa memiliki sikap open minded tolerance atau savoir vivre (lapang dada) dalam menanggapi kebudayaan asing yang hadir sepanjang sejarah Indonesia. Meskipun ditanah Jawa telah hadir berbagai macam kebudayaan yang dibawa oleh orang Cina, India, Arab, Eropa dan sebagainya, ternyata local genius yang dimiliki suku Jawa mampu menanggapi kehadiran budaya asing dengan aktif tanpa kehilangan kepribadiannya.
Banyak bangunan rumah bergaya Indis bersejarah, serta yang memiliki keindahan dan keagungan tersendiri lenyap tergusur. Sangat disayangkan bahwa penelitian dan pelestarian kebudayaan Indis, baik berupa budaya jasmani maupun rohani, dirasa masih jauh dari memadai. Dinas Kepurbakalaan dan Permuseuman belum banyak menangani peninggalan hasil karya seni-budaya gaya Indis sebagai salah satu rangkaian pembabakan zaman sejarah kebudayaan Indonesia. Padahal, pelestarian dan penelitian budaya Indis akan memperkaya budaya bangsa. Beberapa arus besar yang mempunyai fungsi integrative itu antara lain : Ekonomi, Politik, Social, Kesenian/kebudayaandan Kepercayaan (religi). Semua fungsi integrative tersebut sangat menentukan terciptanya pola gaya hidup dan budaya masyarakat di Hindia Belanda. Sebagai fenomena historis, gaya hidup dan budaya Indis sangat erat hubungannya dengan factor politik colonial. Ciri-ciri khas ini digunakan untuk menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa dan untuk membedakan kedudukannya dengan rakyat Pribumi. Mereka tinggal berkelompok dibagian wilayah kota yang dianggapnya terbaik.
Digunakannya tenaga kerja Pribumi berpendidikan Barat didalam pemerintahan colonial ataupun perusahaan-perusahaan swasta asing, mendorong terciptanya masyarakat baru, yaitu golongan Indonesia-peranakan dan priyayi baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun dalam membahas tentang pergantian dinasti. Ia menyebutkan bahwa suku yang berbudaya lebih rendah (orang Badui) mempunyai kecenderungan kuat ntuk meniru adat kebiasaan pihak penguasa yang berbudaya lebih tinggi. Sebaliknya, Berlage member contoh dalam hal pembangunan rumah tinggal. Ia menyebutkan, walaupun orang Belanda memiliki kemampuan sebagai bangsa penguasa, ternyata bangunan rumah Belanda terpengaruh juga oleh seni bangunan setempat yang disebut “Indo-Europeesche bouwkunst”. Hal semacam itu berlanjut dan terjadi pula di Hindia Belanda. Kedua pihak saling mengambil dan mengisi, diawali dari kelompok pertama, yaitu bangsa Belanda membawa pola peradaban Belanda ke daerah koloninya di Jawa.
Oleh Rob Nieuwenhuys, jalinan yang erat semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental diantara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan sebaliknya. Kesejahteraan dan peningkatan status seseorang menuntut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat perabot rumahtangga, mata pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan/agama dan sikap lebih menghargai waktu.
Dalam membahas kebudayaan Indis, mengingat kedua budaya tersebut saling tergantung dan saling menghidupi (symbiotic relation). Gernhard E. Lenski menyebutkan bahwa dalam hubungan yang kompleks dan bersimbiosis itu, penduduk kota dan pemerintah berusaha mancari jalan untuk dapat mengatur dan mengawasi pergaulan hidup sesuai dengan tingkat sosialnya. Perkembangan kebudayaan Indis berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ketangan kekuasaan balatentara Jepang selama tiga setengah tahun. Gaya hidup Indis yang mewah terusik oleh Perang Dunia II yang berkecambuk dan melumpuhkan gairah hidup. Sulitnya hidup masa perang juga menghentikan segala aktivitas kesenian.
Pola hidup dan gaya Indis tidak lagi berkembang, namun bangunan rumah gaya Indis masih banyak yang berdiri kokoh hingga saat sekarang. Yang selalu mengusik perhatian dan menjadi pertanyaan ialah, adakah kaitan (korelasi) antara kebudayaan Indis dengan perkembangan historis kebudayaan Indonesia masa pengaruh Barat, khususnya dengan ekspresi politik kolonial, kehidupan social, ekonomi dan kesenian ? yang jelas, kebudayaan Indis adalah monument estetis hasil budaya binaan (cultural construct) dan imajinasi kolektif, serta ekspresi kreatif sekelompok masyarakat di Hindia Belanda yang menggunakan dasar budaya Belanda dan Indonesia.
Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada masa kekuasaan Hindia Belanda, baik dalam menghadapi tantangan hidup tradisional Jawa maupun gaya Belanda di negeri Belanda. Tepat kiranya pendapat Adolph S. Tomars dalam tulisannya yang berjudul Class Systems and the Arts yang menjelaskan bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Dengan menerapkan konsep Tomars ini, penulis memiliki landasan sosiologis yang kuat bahwa golongan masyarakat Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis.
BAB II
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis
A. Struktur Masyarakat dan Kehidupannya
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat dan Timur. Akibat percampuran kebudayaan Barat. Lambat laut, pengaruh tersebut makin besar dan mempengaruhi berbagai bidang dan unsure kebudayaan. Karena demikian besarnya pengaruh kebudayaan Eropa terhadap kebudayaan Jawa, ketujuh unsur universal budaya utama (seven cultural universals) yang dimiliki suku Jawa sepenuhnya terpengaruhi olehnya.
Bangsa Belanda yang hadir di Indonesia pada akhir abad-6 semula bertujuan untuk berdagang. Pertemuan kebudayaan kedua suku bangsa, disusul penjajahan dengan kekuasaan yang berdaulat, menimbulkan perubahan struktur masyarakat Jawa. Analisis tentang struktur status pada masyarakat Jawa selama zaman colonial, dipusatkan pada “peranan pekerjaan dan pendidikan, dan sebagai indicator posisi kelas social”. Sartono Kartodirdjo mengamati perubahan struktur social dalam perspektif sejarah karena masyarakat Jawa pada waktu itu sebagian besar masih berakar pada tradisi lama. Sementara itu, Geertz menukis tentang perkembangan elite Jawa pada tingkat local, dan Berg membahas system kepangkatan.
Sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 muncul golongan social baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) idaerah jajahan Hindia Belanda. Tentang hal itu, Burger menyebutkan, ada lima golongan masyarakat baru diatas desa, yaitu golongan pamongpraja bangsa Belanda, golongan pegawai Indonesia baru, golongan pengusaha partikelir Eropa, golongan akademisi Indoneia (sarjana hokum, insinyur, dokter, guru, ahli pertanian dan ilmu-ilmu lainnya), an golongan menengah Indonesia, yaitu para pengusaha Indonesia yang mempunyai usaha dibidang perniagaan dan kerajinan. Golongan yang terakhir ini merupakan golongan orang kaya baru, tapi justru kurang dianggap oleh keempat golongan diatasnya. Para bangsawan Jawa justru memperlakukan golongan kelima sebagai wong cilik.
Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan pendidikannya. Menurut Sartono, stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah elite birolrasi yang terdiri atas pangreh praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi, priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat, priyayi professional (priyayi dibagi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik), golongan Belanda dan golongan Indonesia yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan orang kecil (wong cilik) yang tinggal dikampung.
Faber dalam tulisannya dalam Oud Soerabaia, kedudukan seorang keturunan Eropa di Hindia Belanda ditentukan berdasarkan tempat kelahiran (di negeri Belanda atau Hindia Belanda). Tempat kelahiran menentukan status sebutan masyarakat, apakah seseorang itu murni keturunan Belanda (volbloed) atau tidak. Orang yang bukan murni keturunan Belanda disebut mestizen, creolen dan liplappen. Pada masa VOC, ada pula pengaruh Portugis yang masih tertinggal, yaitu dalam sebutan terhadap orang terhormat. Kelompok masyarakat utama yang terhormat (mijnheer) disebut “signores”, dan keturunannya disebut “sinyo”. Oleh orang Pribumi, keturunan pertama Belanda asli disebut “grad satu” atau “liplap”, sedangkan “grad kedua” disebut “grobiak”, dan “grad ketiga” disebut “kasoedik”. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara. Sedangkan kasoedik menjadi pemburu dan nelayan. Kerja pertukangan umumnya tidak disukai karena merupakan pekerjaan kasar dan dianggap kurang terhormat.
Golongan masyarakat tersebut, kecuali wong cilik, merupakan pendukung terkuat Kebudayaan India. Dalam membangun rumah bergaya India, golongan pengusaha atau pedaganglah yang berperan cukup besar mempengaruhi perubahan budaya. Perubahan itu sebagian besar terjadi di Laweyan (Surakarta) dan di Kotagede (Yogyakarta). Masyarakat colonial di Hindia Belandamemiliki struktur yang bersifat (semi) feudal. Mereka mengalami modernisasi karena masyarakatnya tumbuh sejalan dengan perkembangan system produksi dan teknologi. Sebab lainnya adalah karena ada perkembangan dibidang pendidikan dan organisasi pemerintahan dengan gaya Barat. Prestise golongan masyarakat Pribumi yang berpendidikan Barat lambatlaun menjadi makin kuat. Kemudian terbentuklahgolongan baru berdasarkan jenjang social baru, yaitu golongan intelektual Pribumi atau keturunan. Golongan bangsawan dan kaum terpelajar, serta pegawai pemerintahan colonial darai berbagai tingkat yang disebut priyayi adalah kelompok utama pendukung kebudayaan India. Golongan masyarakat inilah yang pada dasarnya menerima politik moderat. Mereka bersikap kooperatif terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan social yang muncul dan tumbuh dari beberapa golongan lapisan masyarakat di Hindia Belanda. Pemerintahan colonial, beranggapan bahwa gaya hidup dan cara berfikir gaya Indis adalah suatu hal yang tepat, baik secara sadar maupun tidak. Gaya Indis sebagai fenomena historis timbul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, social, dan seni-budaya. Pada masa awal, yang menonjol adalah unsure-unsur yang bersifat subjektif, seperti solidaritas dan rasa kesatuan dalam satu kelompok, rasa senasib sepenanggungan, kehendak bekerjasama dan bermacam-macam factor mental lainny.
Unsur-unsur esensial yang menonjol dalam perkembangan antara lain penderitaan bersama sebagai golongan keturunan (Indo Belanda/Eropa), sebagai pejabat bawahan pemerintahan colonial, sebagai golongan dalam tingkat-tingkat masyarakat jajahan yang merasa berbeda dengan rakyat kebanyakan di Jawa, dan sebagainya. Factor penentuan dalam perkembangan pola hidup gaya Indis ini antara lain adanya nasib dan penderitaan yang sama sebagai rakyat jajahan, karena takdir dilahirkan dari campuran Eropa dan Jawa, keinginan untuk dapat hidup yang lebih baik dari golongan masyarakat yang lain, karena mengabdi atau bekerja pada pengusaha jajahan, dan beruntung karena mendapat pendidikan yang tinggi atai jabatan tinggi.
Konseptualisasi metodologis gaya hidup Indis dapat dipahami melalui beberapa sudut pandang masyarakat pendukung gaya Indis sebagai suatu factor yang bersifat sosio-psikologis. Kita harus memahami dan mengamati beberapa aspek, yaitu aspek kognitif, aspek pada orientasi nilai, normatif dan kepercayaan (belief), aspek afektif, dan aspek yang berhubungan dengan aspek komposisi social dalam kehidupan keluarga (the household level).
1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif berhubungan erat dengan tingkat perasaan, yang sangat sulit untuk dilukisan dan diamati. Sebagai contoh, misalnya dalam hal membangun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya. Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubungan erat dengan perilaku penghuninya. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya indis, kita perlu memperhitungkan konteks budaya Belanda dan jawa. Bagi orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena adanya paham kepercayaan terhadap kekuatan supra natural yang sulit dijelaskan.
2. Aspek Normatif
Aspek ini memiliki makna hampir sama dengan aspek orientasi nilai, tujuan, normative dan kepercayaan. Aspek normative menunjukkan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintah kolonial dan bersifat pribadi. Contohnya yaitu dalam hal bangunan rumah tinggal yang lebih bersifat pribadi, dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi khusus.
3. Aspek Afektif
Aspek afektif yaitu tindakan kelompok yang menunjukkan situasi dan dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yan tinggal dalam sebuah rumah.
Ketiga aspek kognitif normative dan afektif tersebut merupakan tindakan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan secara konkret satu sama lain. Meskipun kebudayaan Indis merupakan campuran dua budaya yang berbeda. Dua kebudayaan yang berbedaitu justru terus bercampur semakin erat.
4. Komposisi Sosial
Pengaruh kebudayaan Belanda lambat laun makin berkurang terutama setelah para pendatang dari Belanda memiliki semakin banyak keturunan dari pernikahan dengan bangsa Jawa. Kebudayaan Indis, bila dibandingkan dengan “priyai baru” (priyai bukan bangsawan) memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan masyarakat, yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik priyai. Pada masa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda, kehidupan masyarakat Indis tergolong makmur. Namun, pada masa pendudukan Jepang, kehidupan mereka jadi merana.
B. Kebudayaan Indis
Dalam proses akulturasi 2 kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa cirri-ciri barat (Eropa) tampak lebih menonjol dan dominan. Dalam arkeologi, perubahan budaya dapat diamati melalui perubahan tipe kebudayaan material. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain inovasi, teknologi, perubahan fungsi, ideologi serta kreatifitas atau kebebasan para pengrajin dalam mewujudkan gagasannya.
1. Bahasa
Sejak abad ke-18 sampai ke-20 bangsa Melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa Belanda. Bahasa pijin pada umumnya digunakan oleh orang0orang keturunan Belanda dengan ibu Jawa, oleh Cina keturunan dan Timur asing. Bahasa pijin pada umumnya muncul dalam suatu situasi keadaan kebahasaan darurat. Sebagai media komunikasi. Kehadiran bangsa Belanda di Indonesia yang dilanjutkan dengan percampuran darah dan budaya, memunculka sekelompok masyarakat yang berdarah campuran.
2. Kelengkapan Hidup
a. Rumah Tempat Tinggal
Bentuk bangunan tempat tinggal dengan ukuran yang lebih besar dan luas, memiliki hiasan mewah, penataan haaman yang rapih dan perabotan lengkap merupakan tolok ukur derajat kekayaan pemiliknya dan status social dalam maasyarakat.
b. Kelengkapan dan Peralatan Rumah
Kelengkapan rumah tangga seperti meja kursi dan almari merupakan barang baru yang dikenal oleh suku Jawa setelah orang Eropa dating ke Nusantara.
c. Pakaian dan Kelengkapannya
Kain dan kebaya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah oleh para perempuan Eropa, sedangkan pria mengenakan sarung dan baju takwo atau pakaian tidur (piyama) motif batik.
d. Alat Berkarya dan Berproduksi
Belanda mengenalkan kepada penduduk pribumi berbagai alat untuk berkarya atau alat-alat yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan misalnya, mesin jahit, lampu gantung, lampu gas dan kereta tunggang yang disebut dos-a-dos atau sado.
e. Kelengkapan Alat Dapur dan Jenis Makanan
Banyak keluarga Belanda, khususnya anak ketrurunan yang tinggal di Indonesia menghidangkan “Indische rijsttafel”. Hidangan ini terdiri atas nasi soto, nasi goreng, gado-gado dsb. Pengaturan susunan peralatan makan di meja makan pun tidak sama dengan di negeri Beanda.
3. Mata Pencarian Hidup
Berbagai usaha perluasan penjajahan ini melibatkan banyak tenaga pribumi sehingga muncullah mata pencarian baru bagi banyak orang Jawa. Lapangan pekerjaan bagi pribumi pada masa itu adalah pekerjaan administrasi , militer dan swasta.
a. Prajurit Sewaan
Pada masa terjadi perlawanan melawan kompeni di berbagai tempat, juga diperlukan adanya pasukan atau serdadu sewaan. Untuk pasukan bayaran ini ialah dari jawa, disusun dari Maluku, Bali dan Makassar.
Akibat adanya peperangan di berbagai tempat, kompeni membtuhkan banyak serdadu. Serdadu sewaan asing yang sangat dikenal di Jawa adalah Detasemen Dezentje yang merupakan salah satu hulptroep.
b. Pejabat Aministrasi Pemerintahan
Perang dan ekspedisi yang banyak dilakukan oleh Kompeni dan penguasa Belanda semula adalah usaha untuk mendapatkan pengakuan. Mereka juga melakukan politik keterbukaan untuk menanamkan modal asing sebagai investasi. Kantor-kantor dagang, berbagai cabang-cabang perusahaan, bank, pabrik-pabrik, dinas kereta apa, pelayaran, semua membutuhkan tenaga terlatih dan terdidik. Mereka bekerja sebagai tenaga menengah dan rendah atau kasar, sedangkan tenaga ahli didatangkan dari Eropa. Untuk dinas sipil diperlukan staff administrasi.
Suku pribumi tidak diperkenankan memasuki wilayah yang khusus bagi orang Eropa, seperti gedung sekolah, gedung olahraga, wilayah tempat tinggal dan tempat-tempat umum seperti toko tertentu, restoran, gedung pertunjukkan, dsb. Pada 1869 dibuka terusan Suez yang menjadikan jarak dari Eropa ke Hindia Belanda makin dekat. Perekonomian dunia jadi semakin maju, terutama disepanjang jalur lalu lintas pelayaran dari Eropa ke Asia.
Penyebaran agama Nasrani mengasimilasikan pendidikan dengan peradaban barat. Akibatnya perbedaan yang mencolok antara pribumi Hindia Belanda lama kelamaan terhapus. Politik kesejahteraan resmi tercantum dalam pidato Sri Ratu Wilhelmina yang diucapkan pada September 1901. Perang Dunia I mengakibatkan jumlah pegawai dan hasil industri yang dating ke Hindia Belanda semakn berkurang. Hal itu justru mengakibatkan jumlah lembaga-lembaga pendidikan tinggi bertambah.
c. Tenaga kasar
Pada awal Jan Pieterzoon Coen ingin membentuk masyarakat colonial dengan darah Belanda. Dia kemudian mendatangkan perempuan-perempuan dari Negara Belanda. Namun perusahaan ini tidak disetujui oleh Heeren XVII karena jarak Belanda dan Hindia Belanda yang sangat jauh. Meskipun demikian ada pejabat tinggi VOC yang membawa keluarga ke tanah jajahan. Banyak budak yang dimliki seorang pejabat adalah suatu tanda kekayaan dan symbol prestise, dari pemilikan budak-budak oleh penguasa VOC, kontak budaya pun bisa juga berlangsung dengan perlahan-lahan. Tenaga kasar tidak banyak berperan dalam pengembangan budaya Indis karena mereka hanya buruh kasar. Bagi pejabat tinggi VOC dan pemerintahan kolonial, pendapatan dan kekayaan yang besar memungkinkan mereka memliki tanah yang luas. Tanah itu mereka sebut sebagai tanah partikelir.
4. Pendidikan dan Pengajaran
Lazim dalam pandangan masyarakat tradisional, orang yang berusia lanjut memiliki pandangan yang luas. Hal itu disebabkan oleh akumulasi pengalaman yang dilihat dan didengar, sehingga orang usia lanjut dianggap memiliki kebijakan dan kearifan. Dengan demikian, proses belajar dan penyampaian pengetahuan serta nilai-nilai secara turun-temurun, dari mulut-kemulut, berperan sangat penting.
Proses pendidikan tradisional Jawa yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan kesinambungan generasi, telah melunak pada masyarakat Indis. Banyak unsur budaya Jawa mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa, dan sebaliknya banyak pengaruh unsur Eropa pada anak-anak para priyayi. Tentang peranan pendidikan yang didirikan oleh misi di Yogyakarta, C. van der Deijl S. J. menyebutkan bahwa sekolah yang didirikan disekitar wilayah pabrik gula Gondang Lipura, Yogyakarta, terbagi didalam 9 desa yang didirikan tahun 1910-1930. Sekolah-sekolah desa itu dapat dikelompokkan ke dalam 4 jenis, yaitu (a) standaardshool (b) volkschool (c) volkschool voor meisjes (d) viroolgschool voor meisjes.
Standaardschool yang pertama dibangun di Ganjuran pada 1919, dengan 202 orang siswa pria.Dalam tulisan yang lain dengan judul Mag Datzoonblijveen,Van Der Deijl juga menyebutkan tentang pendidikan yang berhubungan dengan prasarana kesehatan.
5. Kesenian
Dalam upaya mengupas dan meneliti sesuatu hasil karya seni dari zaman ke zaman, dari berbagai suku bangsa dan tempat, orang terbentur pada berbagai kesulitan dalam menilai keindahannya karena ternyata arti “indah” bagi setiap bangsa dan zaman tidak sama dan selalu berubah. Akan tetapi, untuk mengenali hasil karya seni suatu bangsa secara luas, akan sedikit mudah apabila kita dapat mengenali, memahami dan mengerti arti kata “stijl” atau “gaya” lebih dulu.
Kata “stijl” dalam bahasa Latin “atilus” berarti “alat penggores” atau “kalam”, bisa juga bermakna “cara menggores atau menulis”. Bahasa Belandanya “schirjftrant stijl” bahasa Jawanya “cengkok” atau “cara”. Pendapat kedua mengatakan bahwa “stijl” dari bahasa Yunani “stilisilo” artinya “batang tiang”, bahasa Inggrisnya “style”.
Arti Penting Pemahaman tentang Stijl (Gaya) terhadap Pemahaman Karya Seni dan Budaya. Gaya adalah bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang maupun kelompok, baik dalam unsur, kualitas maupun ekspresinya, misalnya berjalan, gerakan badan,, menulis dsb. Bagi seorang arkeolog, “gaya” bermakna spesifik, yaitu terfokus pada motif atau pola dan secara tidak langsung dapat digunakan memahami kualitas karya suatu budaya yang dapat membantu untuk melokalisasi dan mendata suatu karya. Untuk merinci penggunaan gaya, para arkeolog umumnya hanyamenggunakan sedikit saja istilah-istilah artistik dan keindahan sebagai objek wisata. Para ahli seni juga menggunakan gaya sebagai kriteria dalam pendataan asal karya seni yang asli dan sebagai bantu dalam melacak hubungan antara mazhab-mazhab (aliran) dalam seni demikian gambaran secara luas baik individu maupun kelompok dapat dipahami. Plato, ahli pikir Yunani yang hidup abad ke-4 sebelum Masehi mengatakan, “suatu barang atau benda hasil karya seni rupa dapat dikatakan sempurna bilamana memenuhi kegunaannya, keindahan, kesesuaian warna, dan bahannya.
Henk Baren menyebutkan bahwa kata “stijl” mempunyai 4 macam pengertian:
1. Objektieve stijl, yaitu gaya dari benda atau barangnya itu sendiri.
2. Subjektieve stijl atau persoonlijke stijl, yaitu gaya yang dimiliki oleh si seniman, penulis, pemahat, pelukis dan arsitek yang merupakan ciri hasil kerjanya.
3. Stijl massa atau nationale stijl, yaitu suatu gaya yang menjadi cirri atau pertanda (watak) suatu bangsa, misalnya bangsa Eropa (Barat), orang timur, Jepang, Indonesia dll.
4. Technische stijl, yaitu gaya khusus yang berhubungan dengan bahan atau material, secara teknik pengolahan yang digunakan, mislanya dari bahan kayu atau besi menjadi sesuatu bangunan.
Pada umumnya kurang memiliki cukup pengetahuan tentang berbagai gaya yang terkandung dalam suatu karya. Hal-hal demikian sering terjadi dan mengakibatkan adanya kesalahan besar, karena analisisnya dilakukan hanya dengan dasar menghubung-hubungkan tanpa dasar yang kokoh.
Sehingga pada waktu orang-orang Eropa menaruh minat untuk meneliti, mereka mendapat kesulitan, karena karya-karya seni dari berbagai bidang seni Jawa tidak disertai keterangan tertulis. Krida beksa wirama diyogyakarta yang didirikan oleh pangeran Suryadinigrat dan pangera Tejo kusumo pada 1916 ternyata sudah lebih dulu membuka sekolah tari dan musik gamelan.sementara itu,wwayang wong terus berkembang dan hidup menurut pola jawa yang dimainkan dipendopo .pada 1898 dikeraton yogyakarta ada pertunjukan wayang beber berupa gambar pada gulungan lembaran semacam kertas .wayang beber benar-benar merupakan karya tulis dua dimensi yang langka .ada beberapa disertasi tentang wayang kulit ,antara lain oleh G.A.J.hazeu berjudul Bijdrage tot de kennis van het javaansche toneel yang diterbitkan pada tahun 1897 .ada pula penulis lainnya ,yaitu poensen dan keelers .
a. seni kerajian ( seni kriya )
seni kerajinan orang jawa juga sudah sangat berkembang saat kehadiran orang Eropa dan seni kerainan berkembang diseluruh pelosok pulau jawwa ,bahkan seluruh nusantara ,terutama ialah seni pintal atau tenun .Alat tenun terdapat dirumah tangga .seni kerajinan yang merupakan komoditi perdagangan dan sangat digemari masyarakat muslim di Hindia belanda ,misalnya sajadaah ,ddan kopiah produksi dari bawean.
b. Seni pertunjukkan,sastra, dan film
6. Ilmu Pengetahuaan dan Kemewahan Gaya Hidup
a) Peran penghuni dan pemilik pesanggrahan
b) Pembangunan rumah mewah dan kemewahan gaya hidup Indis
c) Pembangunan rumah pesanggrahan
7. Religi
Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai munculnya pranata yang mantap. Sistem Enkulturasi didukung oleh keseluruhan penyesuaian diri dan pengalaman-pengalaman sosial seperti bentuk ucapan atau bahasa,tingkahlaku lambang dan simbol-simbol serta sistem kepercayaan. Dalam kajian teologi,elkulturasi religi diartikan sebagai rancang bangun lokal.Elkulturasi religi sebagai rancang bangun lokal disebut Inkulturasi.
BAB III
Gaya Hidup Masyarakat Indis
Konsep Indis disini hanya terbatas pada ruang lingkup kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa. Kebudayaan Indis dibawah naungan VOC berlanjut sampai masa pemerintahan Hindia Belanda, kebudayaan Indis semakin berkembang, dan segera berakhir dengan kehadiran balatentara Jepang pada 1942. Rumah-rumah mewah (landhuizen) milik para pejabat tinggi VOC adalah tempat awal berkembangnya kebudayaan Indis.
Kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan dibidang ekonomi disebabkan oleh adanya segolongan masyarakat Indis di Batavia, khususnya mengacu pada kehidupan para petinggi di Weltevreden. Sementar itu, pejabat bawahan dikota-kota besar Jawa hidup mewah jika dibandingkan dengan kehidupan para raja dan bangsawan Jawa. Tanda-tanda kebesaran sebagai lambang status seperti payung, sejumlah pengiring, rumah besar dan kepemilikan budak, ditiru dari kehidupan dan gaya hidup keraton para raja dan bangsawan Jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan Indis, seperti halnya tujuh unsure universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda, ataupun budaya Pribumi Jawa.
Salah satu factor yang menjadi petunjuk utama status seseorang ialah gaya hidupnya, yaitu berupa berbagai tata cara, adat-istiadat serta kebiasaan berprilaku, dan mental sebagai cirri golongan social Indis. Keseluruhan cirri mempengaruhi hidupnya sehari-hari karena semuanya dijiwaioleh pandangan hidup yang berakar dua budaya, yaitu Belanda dan Jawa. Kehadiran balatentara Jepang dalam Perang Dunia II tahun 1942 menumbangkan lambang-lambang kebesaran budaya Indis dan mengubur kebudayaan dan gaya hidup boros serta mewah itu. Namun kebudayaan Indis tidak seluruhnya lenyap, masih ada tunas-tunas yang hidup dan tetap berlanjut dan berkembang pada masa Republik Indonesia setelah runtuhnya pendudukan Jepang. Diantara unsur-unsur universal budaya Indis yang tetap menjadi unsur dominan sebagai kebudayaan nasional Indonesia, misalnya system pendidikan, system pemerintahan, perundang-undangan dan sebagainya.
Kelompok masyarakat pendukung kebudayaan Indis terdiri atas pejabat VOC dan pejabat pemerintahan Hindia Belanda dan kalangan pegawai swasta beserta anak keturunannya. Pada 22 oktober 1664, tercatat tidak kurang dari 25.000 orang sesuai dengan jumlah pegawai pemerintahan Hindia Belanda yang berkuasa setelah VOC runtuh pada 1799. Gambaran gaya hidup masyarakat Indis dapat diikuti dan lebih dipahami lewat berbagai berita tertulis berupa buah karya para musafir, rohaniwan, peneliti alam, pejabat pemerintahan jajahan, termasuk berbagai buah karya sastra Indis (Indische belletries).
Leonard Blusse menyebutkan tentang bagaimana sulitnya mendapatkan berita tertulis tentang kehidupan para perempuan Indis semasa kekuasaan VOC. Abdi atau penguasa VOC dapat dibagi dalam empat golongan pokok, yaitu :
a. Pegawai niaga, mulai dari jabatan opperkoopman (pedagang kepala) sampai asisten (para pembantu atau juru tulis). Kelompok ini memegang peranan penting. Mereka bertugas sebagai birokrat yang mengerjakan administrasi.
b. Personel militer dan maritime yang terdiri atas berbagai tingkat kepangkatan dan jumlahnya pun yang paling banyak. Status kelompok ini lebih rendah dari kelompok pegawai niaga.
c. Personel kerohanian, terdiri dari pendeta Calvinis (predikanten) yang cerdik pandai sampai petugas pengunjung orang sakit yang disebut zienkentrooster atau penghibur orang sakit.
d. Kelompok terendah, terdiri dari para tukang dan para pengrajin, secara kolektif dikenal dengan ambahtheden.
Seorang opperkoopman lebih tinggi pangkat dan kedudukannya dibandingkan dengan perwira militer atau komandan maritime senior. Apabila opperkoopman didudukan sebagai pimpinan ekspedisi militer atau maritime, ia diberi gelar yang megah seperti jenderal atau panglima medan perang (veldoverste). Keadaan seperti ini berlangsung sampai akhir abad ke-18. Tokoh yang mengalami kenaikan pangkat seperti ini adalah Cornelius Speelman (1628-1684). Pada umumnya para abdi VOC kembali pulang ke Eropa apabila kontraknya habis dan cita-citanya mencari uang telah terpenuhi. Mereka yang pulang ke Belanda disebut trekkers. Sedang kan mereka yang masih tinggal di Hindia Belanda disebut blijvers. Hasil karya para sastrawan dalam bahasa Belanda disebut Indische belletries (sastra Indis).
Kehidupan masyarakat Hindia Belanda umumnya terpisah dalam kelompok-kelompok dengan batas-batas yang yang diatur dengan ketat. Batas-batas tersebut antar lain batas warna kulit, kelas social serta asal keturunan. Ada pengecualian dalam lapangan ekonomi, ada kelas majikan yang berkulit putih dan pekerja atau budak yang berkulit berwarna. Ada berbagai nuansa dan kesan yang disampikan dalam karya-karya tersebut. Misalnya, perasaan tertekan dapat kita rasakan dalam roman karya Louis Couperus (1863-1923_ berjudul De Stille Kracht (alam gaib).
Para sastrawan menceritakan kepercayaan tentang hal-hal gaib, tentang jin-setan, tenung, teluh, obat-obat yang dapat menimbulkan jatuh cinta. Hal-hal tersebut diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat kebudayaan Indis. Tulisan dengan latarbelakang kepercayaan Jawa ini ditulis oleh P.A. Daum (1850-1898). Selain karya sastra yang mengungkapkan hal-hal berkisaran tentang kepercayaan dan kehidupan sehari-hari kalangan masyarakat Indis, etrdapat juga cerita bertemakan kehidupan ang berlatarbelakang politik.
Karya-karya sastra Indis pada masa kekuasaan Hindia Belanda sangat digemari oleh para perempuan Indis sebagai bahan bacaan harian untuk mengisi waktu atau membunuh kejenuhan, khususnya bagi isteri pejabat yang sehari-hari mendampingi suami yang ditugaskan dipelosok kota yang sepi dan terpencil. Beberapa aspek gaya hidup Indis meliputi :
A. Rumahtangga dan Rumah Tinggal Indis
Unsur-unsur budaya dan iklim alam sekeliling sudah mempengaruhi orang-orang Eropa dalam membangun rumah tempat tinggal mereka. Dari tempat tingal ini, dapat diketahui bahwa pembuatan rumah di Batavia tidak sepenuhnya tepat seperti berbentuk tempat tinggal rumah Belanda kuno dinegeri induknya. Pembuatan rumah di Batavia kuno mendapatkan penanganan yang baik dan dikerjakan oleh para ahli yang betul-betul pandai. Hal ini diketahui dari pencerminan cirri-ciri yang ada, dari adanya pencampuran antar seni bangunan Barat dengan lingkungan dunia Timur. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara rumah-rumah yang dibangun pada masa awal pemerintahan Hindia Belanda didalam lingkungan Kastil Batavia dengan yang berada diluarnya. Perumahan yang berada diluarkota Batavia disebut pesanggrahan atau landhuizen.
Pada awal kedatangan Belanda di Jawa rumah tempat tinggal orang Eropa didalam Kastil Batavia mempunyai susunan tersendiri secara umum mirip dengan yang terdapat dinegeri asalnya. Sementara itu landhuizen atau rumah tinggal diluar kastil dibangun dengan lingungan alam Timur. Bangunan landhuizen semula digunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal diluar kota yang kemudian juga didirikan diwilayah baru Batavia (nieuve buurten). Corak bangunan ini mirip dengan rumah para pedagang kayu dikota lama Baarn atau Hilversum, Belanda.
Pendirian sebuah bangunan dengan model bangunan rumah Belanda awalnya sangat terikat dengan cirri-ciri nasionalis Belanda. Pada 1730-an, sepertiga bagian dari daun pintu sebuah bangunan rumah mewah dipahat dengan a’jour relief yang indah. Lubang kunci atau engsel-engselnya juga diukir sangat bagus, seperti tampak pada rumah-rumah tempat tinggal orang Arab. Orang-orang Portugis melanjutkan kebiasaan di Hindia Beelanda yaitu menggunakan kulit binatang bertotok seperti kura-kura, tiram dan keong.
Ciri yang menonjol dari rumah-rumah Belanda di Batavia yang kemudian dilanjutkan anak cucunya ialah telunduk (stoep) yang lebar didepan rumah. Telunduk tersebut bukan sekedar bagian dari sebuah bangunan tetapi juga mempunyai arti dan kegunaan khusus, yaitu untuk hubungan antartetangga yang pada masa itu mempunya arti social penting.
B. Kelengkapan Rumah Tinggal
Dari peninggalan catatan kuno, Boedel Beschrivingen, ruang tengah yang terletak dibelakang ruang depan disebut voorhuis. Diruang ini terdapat sebuah kerkstoel, yaitu sebuah kursi untuk kebaktian (kursi gereja) khususnya untuk nyonya rumah. Didalam Bataviasche Statuten 1642, disebutkan bahwa semua pegawai VOC dan para pekerja (tukang) diwajibkan menyandang senjata. Didalam zaal (ruang) diletakkan perlengkapan rumah, misalnya meja makan dan kelengkapannya serta almari tempat rempah-rempah (de spijkast) dan meja the (theetafel). Hiasan utama pada zaal ini adalah tangga (trap) yang dinegeri Belanda lazim diletakkan di voorhuis sedangkan di Batavia umumnya diletakkan disudut belakang zaal. Tangga ini bukan wentelwltrap (tangga naik melingkar) tetapi bordestrap (tangga lurus langsung ke atas) dengan baluster.
Pada masa Kompeni dan Pemerintahan Hindia Blanda, zaal mendapatkan perhatian yang istimewah. Kemewahan hiasan pada tangga tidak saja sebagai benda yang dipamerkan kepada umum atau para tamu-tamu tetapi juga sebagai media “pamer hiasan keindahan”. Lukisan karya Heydt menunjukan bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengusahakan adanya penyedot air. Adanya pompa penyedot air ini dimaksudkan untuk membebaskan air tanah dan hujan agar tidak merebes masuk menuju kedalam kelder dan rumah tempat tinggal. Bangunan rumah samping (bijgebouwen) betingkat, ruang tingkat atas yang biasanya digunakan untuk tempat tinggal para budak. Mereka tinggal disini kesehatannya tidak terurus dengan baik. Dirumah ini hidup tidak kurang dari 200 orang budak yang terdiri atas anak-anak, orang tua atau dewasa.
Rioolering atau saluran pembuangan limbah juga sulit diadakan. Rumah-rumah warga berukuran kecil hanya memiliki sebuah gemackstoel (kakus/WC) yang tempat tinjanya dapat diangkat dan dipikul untuk dibuang kesungai setiap malam hari. Pada abad ke-18 ruang-ruang atas pada rumah induk mulai digunakan sebagai ruang tidur keluarga.
C. Kehidupan Keluarga Sehari-hari didalam Rumah
Satu kebiasaan yang umum dilakukan bangsa Pribumi Jawa pada pagi hari adalah pergi kekali. Sudah sejak lama keluarga keturunan Belanda membuat tempat untuk mandi (badhuisje) ditepi sungai. Air didapat dari smber air di Molenvliet yang disalurkan lewat pipa. Pada 1840 diberitahukan bahwa tidak setiap rumah di Batavia memiliki kamar mandi. Disana baru terdapat tempat mandi yang patut atau mandihok (seperti yang lazim disebut pada waktu itu), suatu bilik hok (tempat mandi).dirumah Van Riemsdijk di Tijgergracht, terdapat bengunan berbentuk rumah-rumahan kecil terbuka yang disebut speelhuisje. Bangunan initerletak ditepi kali. Kemudian Van Riemsdjik menggunakan sebagai kamar tunggu para tamu dengan menghilangkan jenjang tangga yang menuju kearah kali. Sementara itu, ada dua buah koepeltje (rumah jalan veteran).
Orang yang lahir di Belanda sebenarnya membenci kebiasaan mandi setiap hari. Hal demikian itu juga berlaku bagi bangsa Portugid, termasuk juga permpuannya.
D. Daur Hidup dan Gaya Hidup Mewah
Daur hidup atau life cycle adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali kestatus aslinya dari satu tungkat ke tingkat berikutnya. Ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia, yaitu :
- Upacara Kelahiran
Upacara kelahiran dilangsungkan untuk menyambut kehadiran anggota baru dalam suatu keluarga. Sebelum melahirkan, keluarga Indis yang mampu sudah menyiapkan baju kanak-kanak, ranjang untuk si bayi, kelengkapan persalinan dan ruang tidur bagi si bayi. Upacara penting setelah kelahiran adalah pemberian nama dan upacara pembaptisan digereja. Sesuai dengan undang-undang tahun 1642, seorang Nasrani dilarang mengawini orang yang bukan Nasrani.
- Upacara Pernikahan
Upacara perkawinan dielenggarakan dengan mewah dengan harapan perkawinan yang baru dijalani kedua mempelai berlangsung penuh keselamatan. Sebelum akad nikah berlangsung, calon pengantin laki-laki menggantungkan sebuah mahkota kecil didepan pintu rumah atau kantornya.
Malam sebelum hari perkawinan, mahkota daripihak laki-laki dibawa kerumah pengantin perempuan diiringi music dengan lagu-lagu khusus untuk pernikahan. Pada akhir abad ke-18, upacara tidak diadakan digereja, tetapi mereka mengundang pendeta kerumah pengantin perempuan. Upacara perkawinan diakhiri dengan dabsa dan makan-minum. Seusai upacara perkawinan, pengantin perempuan tinggal dirumah saja untuk beberapa hari. Ia keluar rumah menuju gereja dan diteruskan menjalani pekerjaan rumah sehari-hari.
- Upacara Kematian
Pada masa kejayaan VOC dan Hindia Belanda justru peristiwa kematian yang mendapat perhatian istimewah. Bagi masyarakat Batavia, upacara kematian adalah upacara yang penuh gengsi dan kemegahan sebagai momentum keakraban. Setelah berita duka diterima tugas mereka adalah memberitahu para tetangga kemudian membantu membawa jenazah keruang depan dan membuat surat duka dengan teliti, sesuai dengan kepangkatan, gelar dan jabatan si pemilik alamat yang dituju.
Pada 1734 digunakan tenaga pemikul tetap yang dibayar dengan jumlah tertentu. Mereka ditugaskan oleh garnisun, yaitu seorang kopral dengan 12 serdadu yang mengenakan seragam hitam. Ada satu hal yang baru. Ketiak Van Outhoorn meninggal pada 1720, kereta jenazahnya ditarik oleh dua ekor kuda. Pada 1734 ada ketentuan bagi kereta yang membawa jenazah kepemakanam, yaitu jumlah kuda penariknya dua, empat, enam atau delapan ekor, sesuai dengan kepangkatan orang yang meninggal.
Untuk tanda kasih kepada orang-orang yang ikut bersusah payah dalam upacara, seperti pemikul peti jenazah, keluarga orang yang meninggal member kenangan berupa kotak tempat tembakau dari perak, sepasang sendok garpu serta sebuah piring kenangan (gedachtenispiring). Ada pula kenangan berupa schoteltje (botol kecil dari perak berukir) berbentu bulat, segi delapan atau segi empat. Yang menarik mengenai nisan ialah tentang adanya hubungan seni pahat batu nisan dengan keahlian pahat kayu para pembuat perabot rumahtangga (meubilair).
BAB IV
Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis dan Pribumi
A. Sumber-sumber tentang pola lingkungan permukiman
Pola permukiman, bentuk rumah tinggal tradisional dan bangunan rumah tinggal gaya Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tertulis buah karya orang Jawa, Belanda (Eropa) serta orang asing lainnya. Sumber lain yang juga dapat digunakan sebagai sumber berita ialah peninggalan bangunan yang masih ada hingga saat ini, hasil karya yang berupa lukisan, sketsa dan graver buah karya para musafir, peneliti alam, pejabat VOC dan dokumentasi pemerinta colonial berupa ahsil fotografi.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah permukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum abad ke-19. Ada beberapa manuskrip seperti Babad Negeri Semarang, Babad Tuban, Babad Gresik, Babad Blambangan, Babad Kitho Pasoeroean dll yang menerangkan keadaan berbagai aspek kehidupan suku Jawa dan juga mengenai kota, rumah, adat, sejarah dsb.
2. Sumber Tertulis dari bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang Pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalanan sudah ditulis orang Eropa sebelum abad ke-17. Kebanyakan tulisan itu berupa manuskrip yang tersimpan di gedung arsip di Indonesia dan Belanda. Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyarakatnya pada abad ke-18 dan abad ke-19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia Belanda, khususnya Jawa. Beberapa manuskrip itu menceritaka tentang benteng-benteng Kota Batavia, kastil serta gereja yang sudah hancur, dan kedatangan sebuah kapal dengan berbagai muatan mewah yang pada saat itu asing bagi penduduk pribumi seperti arloji, minyak wangi, sepatu, dll.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis dan potret. Para pelukis Eropa yang datang ke Indonesia menggambarkan suasana kota, permukiman serta perumahan, pantai dsb. Sedangkan lukisan grafis merupakan suatu lukisan dengan teknik encreux relief yang dipahatkan pada lempengan tembaga atau perunggu.
4. Karya Berupa Fotografi
Sejak kehadiran kapal-kapal dagang Belanda pertama ke dunia Timur, mereka membawa serta para pelukis. Hasil lukisan mereka ada yang digunakan untuk kelengkapan lapora kepada Heeren Zeventien di Belanda, kenang-kenangan keluarga dan diperjual-belikan. Baru pada abad ke-19 dikirim para pelukis yang khusus melukis segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian. Kegiatan melukis ini juga dilakukan atas doronga Heeren Zeventien yang menugaskan para pejabat untuk memperdalam ilmu pengetahuan, seperti ilmu bangunan dan ilmu tentang batu-batu mulia. Dengan ditemukannya teknik memotret, maka penulisan tentang kota permukiman menjadi tampak lebih jelas, seperti apa adanya.
B. Mengamati Seni Bangunan Rumah dari Hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan Karya Sastra
Melalui karya seni lukis, foto gravir, relief dan karya sastera, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Dengan demikian orang tidak harus selalu mencari bangunan rumah aslinya, tetapi dapat pula melihatnya dari hasil-hasil karya seni lukis yang dilukis pada waktu bangunannya dalam keadaan utuh yang terkadang juga tercantum keterangan si seniman untuk memperjelas berita tentang kehidupan dan gaya hidup masyarakat pada zamannya. Dalam seni lukis abad ke-17 sampai ke-19 sedikit sekali kemungkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis dan didasarkan atas beberapa alasan
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke-17 samapi ke-19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya periode Renaisans dan Barok. Pada masa “naturalisme” dan “akademisme” besar sekali kemungkinannya bahwa apa yang dilukis benar-benar ada dan tepat sesuai dengan bangunan serta keadaan waktu itu. Sehingga dengan demikian, hasil karya lukis dari zaman itu bernilai setara dengan hasil pemotretan dengan foto kamera pada abad ke-20.
Pelukis-pelukis Belanda waktu itu mewujudkan karya lukisannya secara alami, didasarkan dari apa yang mereka lihat tanpa sedikit pun mengerjakan pengaruh-pengaruh dari jiwanya. Banyak lukisannya menggunakan latar belakang berupa bangunan rumah, pintu-pintu gerbang, pemandangan alam. Demikian pula gambar tokoh para penguasa Hindia Belanda, mereka dilukis dengan baju kebesaran lengkap dengan aksesori dan lambang-lambangnya, sehingga lukisa tersebut tampak tepat seperti gambar potret pada zaman sekarang.
Kedua, beberapa penulis dan pelukis lazim menggambar bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahannya oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga).
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar zaman VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jenderal di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggal dan keluarga mereka sebagai kebanggaan atau kenang-kenangan keluarga. Hal ini sama dengan orang dari abad sekarang yang memotret rumah dan keluarga untuk dipasang pada dinding rumah atau dikirim kepada sanak keluarganya dengan maksud yang sama, yaitu sebagai kenangan atau pamer.
Dengan dikenalnya alat pemotret pada abad ke-19, kemudian disusul dengan sempurnanya teknik memotret, maka kita bisa mengenali kembali hasil seni bangunan rumah gaya Indis dan gaya hidup penghuninya dengan akurat. Sayang sekali peninggalan seni lukis pada benda-benda keramik (misalnya lukisan pada jambangan dan piring) di Indonesia tidak dikenal. Bahkan sampai sekarang tidak ada tradisi melukiskan bangunan atau rumah pada karya keramik seniman dan pengrajin Indonesia, apalagi disertakan tulisan. Untunglah ingatan generasi tua bangsa Indonesia masih segar dan peninggalan bangunan rumah gaya Indis masih cukup banyak tersebar di setiap kota di Pulau jawa, walaupun pada akhir abad ke-20 nasibnya makin merana.
Tentang ketajaman dan ketelitian pelukis dalam melukis dapat diamati antara lain dalam melukiskan pintu gerbang dari arah dalam (lukisan dilihat dari arah utara). Pada pintu gerbang tersebut terdapat lonceng (jam) yang menunjukkan pukul 06.10 (sore). Bayang-bayang orang di lukisannya tampak panjang dan tinggi, payung-payung sudah ditutup karena tidak lagi panas dan keranjang-keranjang yang dipikul oleh orang-orang yang lalu lalang tampak kosong.
Ada juga pelukis yang melukiskan dan memberi gambaran tentang kastil, benteng dan loji di Banten, Batavia dan Jepara, lalu rumah orang Tionghoa yang ternyata bentuknya mirip dengan rumah-rumah Tionghoa di berbagai kampung Cina (pecinan) di Pulau Jawa, dan jenis pakaian masyarakat berbagai kelas dan golongan suku bangsa.
Dari hasil lukisan para pelukis, ditambah keterangan tertulis para musafir atau karya sastera pada waktu itu, kita dapat merekonstruksi kembali peninggalan-peninggalan bangunan dan gaya hidup masyarakat Indis.
C. Pola Permukiman Masyarakat Indis di Kota, Provinsi dan Kabupaten di Jawa
Pengertian kota menurut Peter J.M. Nas dibedakannya dalam empat macam yaitu; (1) kota awal Indonesia; (2) kota Indis; (3) kota kolonial; dan (4) kota modern. Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe yaitu; (a) kota-kota pedalaman denga ciri-ciri tradisional-religius dan (b) kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan.
Sejak awal pembentukannya sebagai kota, Batavia dijadikan pusat penguasa kolonial di Indonesia. Konfigurasi penduduk beserta wilayah permukimannya sudah berkiblat pada bentuk kemajemukan. Pengaturan wlayah denga kelompok permukimannya dilaksanakan melalui kepala-kepala kelompok suku bangsa yang diangkat oleh pemerintah kolonial.
Pada awal peralihan dasawarsa terakhir abad ke-19, pembaruan administrasi pemerintahan di Residensi Batavia telah melepaskan konsepsi pengelompokan etnis ini. Akan tetapi, dasar pembagian ras dalam soal kependudukan dan susunan wilayah permukiman tetap dipertahankan.
Budaya Indis yang berkembang subur pada abad ke-18 sampai abad ke-19, dan berpusat di wilayah-wilayah tanah partikelir (particuliere-landerijen) dan di lingkungan Indische landhuizen. Pada permulaan abad ke-20 kebudayaan ini bergeser ke arah urba life seiring dengan hilangnya pusat-pusat kehidupan tersebut. Ada 3 ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota koloial, yaitu budaya, teknologi dan struktur kekuasaan kolonial.
Kota-kota di Jawa sampai dengan abad ke-18 tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan umumnya menjadi kota pusat pemerintahan daerah. Kelompok bangunan di kota lebih rapat satu sama lain dibandingkan dengan kelompok perumahan di pedesaan. Apabila dibandingkan dengan kota-kota pantai kuno, kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih jarang dimana bentuk rumahnya masih tradisionla.
Pengaruh Belanda dan mazhab-mazhab Eropa berhasil memperkuat dan memberi alat untuk menanggulangi kekurangan-kekurangan dalam cara membangun kota atau rumah dan membantu dalam hal memberikan petunjuk tentang konstruksi bangunan, organisasi dan metode dalam membangun rumah pada masyarakat Jawa. Penguasaa Belanda memberika saran dalam penggunaan teknik konstruksi bangunan, kebersihan (hygiene), tata letak dan garis sepadan (rooillijn) dsb.
Di samping itu, pihak penguasa kolonial tidak secara keseluruhan mengabaikan atau meniadakan kedudukan para tukang atau ahli banguna lokal (pribumi). Ahli-ahli bangunan Jawa tradisional mempunyai organisasi tersendiri. Yang menarik salah satunya adalah tradisi yang tertumpu pada kewajiban sambatan (gotong royong), yang juga dilakukan pada saat mereka membangun tempat tinggal kepala-kepala desanya.
Masa kemudian, ketika kepala desa digaji pemerintah, lambatlaun cara demikian dikhawatirkan akan dapat menghilangkan peran sambatan dan peran tukang-tukang ahli bangunan tradisional Jawa. Bangunan-bangunan tempat berkumpul seperti pasar, balai desa, tempat peribadatan dsb. agar tetap didesain sederhana, selaras dan sesuai dengan tingkat pengetahuan dan jalan pikir mereka sendiri. Unsur utama kehidupan seni bangunan Jawa masih banyak ditemukan bentuk gaya asli, bahkan terdapat suatu kesatuan dalam gaya bangunan seperti contoh berikut.
1. Yang paling sederhana adalah bangunan cungkup kuburan Jawa yang selalu terletak di tempat terpencil (kiwa) dan di sekitar lingkungannya terdapat tanaman khas yaitu pohon kamboja, beringin, randu alas, atau pohon-phon lain yang memiliki cabang-cabang dan daun yang rimun.
2. Tradisi bangunan rumah tempat tinggal Jawa. Perkampungan penduduk Pribumi terpisah dari komplek bangunan Eropa, walaupun kampung itu terletak dalam lingkungan kota Jawa yang sama.
3. Mengerti adanya tempat-tempat keramat atau yang sangat ideal bagi hidup mereka di desa, seperti pancuran-pancuran air dan sumber mata air.
4. Gambaran monumental sesuai dengan gambara ide keindahan sebuah lingkungan kota lama di Jawa dapat diamati di kota Yogyakarta dan di sepanjang parit terbentang jalan lebar yang ditanami pohon gayam.
Sejak jaman kuno, pusat kegiatan ekonomi di Pualu Jawa adalah pasar yang sekaligus berfungsi sebagai pusat transaksi antarwilayah sekitarnya. Perkembangan ekonomi pada akhir abad ke-19 yang ditopang oleh pembangunan komunikasi, transportasi, edukasi dan birokrasi, kota jadi makin ramai dan berpenduduk lebih padat. Hal ini terjadi karena di kota terdapat berbagai kemudahan perdagangan, kelengkapan dan pelayanan yang lebih baik dibanding dengan di pedesaan.
Sesuai dengan perkembangan ekonomi, pengajaran dan pendidikan pada abad ke-19, jumlah gedung sekolah semakin banyak dan tempat-tempat rekreasi umum yang dibangun secara permanen baru muncul pada abad ke-20, yaitu berupa tempat-tempat olahraga, tempat tontonan komedi stambul dan bioskop.
Tata permukiman penduduk kota pada abad ke-19 di Jawa menunjukkan secara jelas tentang adanya macam-macam golongan masyarakat kolonial. Pertama, di bagian kota tertentu terdapat kompleks rumah tembok berhalaman luas dengan bangunan beratap tinggi yang merupakan permukiman golongan Eropa atau golongan elite Pribumi.
Kedua, daerah pecinan umumnya merupakan kelompok bangunan padat penduduk dan rapat satu sama lain, beratapkan pelana lengkung, bagian muka rumah dipakai untuk berjualan, usaha pertokoan, atau pelayanan lain dan terletak di tepi jalan raya. Ketiga, kampung adalah tempat tinggal khusus bagi golongan Pribumi, biasanya rumahnya beratapkan pelana (kampung) dari ijuk, daun rumbia (dadhuk) sejenis palem atau genting yang penggunanya saat itu sangat sedikit. Biasanya terlihat sangat kontras dengan permukiman suku lainnya.
D. Upaya Mencukupi Kebutuhan Perumahan Kota
Perkembangan dan perluasan kota-kota besar di Jawa dan di berbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Rumah orang Eropa yang berukuran besar sudah mendapat prioritas dengan penyediaan lahan yang ditentukan oleh undang-undang (contoh di Yogyakarta). Demikian pula dalam hal bentuk dan ukuran rumah serta pekarangan, semua itu disesuaikan dengan kebutuhan saja.
Pada 1930 pekarangan dan ukuran rumah dibuat sesuai dengan keperluan dan dengan pertimbangan dari sudut ekonomi, pembangunan rumah dapat juga dimaksudkan untuk mencari untung. Bahkan di beberapa tempat khusus di Surabaya, masyarakat sendiri ada yang ingin menjadi pengusaha real estate, seolah-olah mereka hendak mengambilalih perusahaan kotapraja, lebih-lebih pada waktu zaman sulit dan adanya penghematan anggaran belanja pemerintah akibat malaise.
Sejak 1932, cara ini disempurnakan lagi, antara lain dengan membuat bagian rumah yang lain seperti jendela, pintu dan lain-lain berukuran sama. Dengan demikian, dinding dengan kusen-kusen pintu dapat didirikan oleh kuli pekerja kasar di dalam satu atau dua hari saja.
E. Penggunaan Unsur Seni Tradisional dalam Rumah Gaya Indis
BAB V
Ragam Hias Rumah Tinggal
A. Tentang Hiasan Rumah Tinggal
Arsitekstur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan. Arsitektur sendiri dianggap sebagai perpaduan antara karya seni dan pengetahuan tentang bangunan. Dengan demikian, arsitektur juga membicarakan berbagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan.
Tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur yaitu: (a) kenyamanan (convenience); (b) kekuatan atau kekukuhan (strength); (c) keindahan (beauty). Dari kebuah bangunan tiga faktor ini, wajarlah kiranya untuk menyebutkan bahwa arsitektur adalah suatu karya seni. Sebagai karya seni, arsitektur diciptakan melalui proses yang sangat sulit dan rumit. Sebuah bangunan selayaknya dapat dinilai dari segi keindahan, kenyamanan, serta keselamatan dari penghuninya.
Berbagai karya arsitektur telah menggunakan desain yang indah dan berseni. Dengan kondisi tersebut, artinya seorang arsitek pun dapat disebut sebagai artis karena ia menciptakan keindahan.
Ragam hias dan ornamen yang diterapkan oleh gaya arsitektur memang mampu menonjolkan ekspresi alami pada bangunan. Namun, perkembangan industri rupanya telah membuat keindahan karya seni bangunan jadi terlupakan. Masalah ini terjadi karena berbagai perubahan cara pandang terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Abad ke-19 dikenal sebagai priode eklektik, yaitu suatu priode gaya hidup yang menerakpkan cara pandang serba praktis. Orang lebih mementingkan fungsi, sehingga ornamen atau ragam hias tidak dianggap penting.
Sejak saat itu pula arsitek juga mulai membuat model bangunan dengan cara meniru karya seni murni. Material bangunannya pun juga dibuat asal-asalan, sehingga menghilangkan makna keindahan seni.
Ornamen yang memiliki keindahan harmoni sepanjang masa umumnya merupakan hasil karya jenius umat manusia yang penuh perasaan. Karya seni semacam ini hanya dapat diciptakan jika manusia mendalami jiwa dan perasaan, memahami keindahan alam sekeliling, serta selalu mencari dan menerapkannya dalam hati nurani.
Semua hasil karya merupakan bentuk kreasi ekspresif kreatif masyarakat umum, bukan selera pribadi. Gambar atau ragam hiasan merupakan suatu bentuk ekspresi jiwa, yang kemudian menghiasi objek agar tampak indah, bernilai magis atau simbolik. Pihak tertentu menganggap bahwa karya seni tetaplah perlu, karena manusia telah menerapkannya sejak dulu. Namun, pihak lain beranggapan bahwa hal itu tidak perlu lagi, karena menurut mereka yang penting dari suatu benda adalah kegunaannya saja (fungsionalisme).
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa ornamen digunakan karena diilhami dua faktor, pertama faktor emosi, dan kedua faktor teknik. Faktor emosi, yaitu hasil cipta yang didapat dari kepercayaan, agama, dan magis (untuk mendapat kekuatan gaib). Tujuannya antara lain ialah supaya berbeda dengan bangunan simbolik lainnya.
Dari sudut teknik dijelaskan bahwa yang pertama, kreasi alami, konvensional dan bentuk hiasan abstrak adalah suatu karya yang sangat dihargai pada masa lalu. Kedua, pada pertengahan abad ke-20 pandangan seperti diatas berakhir dan terdapat adanya tanda-tanda revolusi di dalam ornamen arsitektur.
Pada zaman dulu, orang melukiskan sesuatu secara naturalistik. Mereka mengartikan ragam hias secara simbolik, dan akhirnya saat zaman telah berubah, ragam hias tidak lagi dimengerti. Seni lukis terpisah dengan sendirinya dari arsitektur dan berkembang dengan bebas. Jiwanya, sama halnya dengan bentuknya, juga berubah sehingga mempunyai ciri atau karakter sendiri. Ini terjadi berkat adanya eksperimen atau percobaan-percobaan yang akan meniadakan sesuatu yang tidak alami dan menjauhkan diri dari ide-ide lama.
Lima indikasi seni bangunan dan seni lukis. Pertama, seni lukis modern adalah karya seni yang meninggalkan naturalisme yang terdapat pada seni plastis (pahat patung). Kedua, seni lukis modern bersifat bebas, terbuka, dan berlawanan dengan seni arsitektur. Ketiga, seni lukis modern penuh dengan warna-warna dan bidang yang bertolak belakang dengan arsitektur yang tidak banyak menggunakan warna-warni seperti karya lukis. Keempat, seni lukis modern meliputi proses penciptaan bentuk plastis pada bidang datar, yang menghasilkan sesuatu yang kontras dengan permukaan bidang datar yang terbatas pada bangunan. Kelima, seni lukis modern memberi bentuk plastis pada bidang datar dengan pertimbangan yang tepat dan imbang (contrasted with balanced support and weight).
B. Bentuk Atap dan Hiasan Kemuncak
Ada kesan yang mendalam bahwa dalam mendirikan rumah dan ragam hiasannya, orang jawa kian jarang menhias bangunan rumahnya apabila dibandingkan dengan orang sumatera. Pada umumnya, bangunan rumah pribumi di Jawa dibuat dari bahan yang murah, berdinding bambu (gedheg), beratap daun pohon palem atau rerumputan (atep, welit).
Perbedaan bentuk rumah di Jawa dapat disebabkan oleh keberuntungan atau kesejahteraan hidup orang cina atau arab dan dapat juga disebabkan oleh penjajahan dan penghisapan habis-habisan oleh penjajah. Tentang ragam hias dan seni ukir, keterangan residen Pekalongan yang dikutip Rouffaer pada 1891 ini sangat menarik.
“ Seni ukir kayu di pekalongan mundur karena orang pribumi beralih pandangan. Mereka tidak lagi menggunakan ukir kayu untuk menghias bangunan rumahnya, tetapi membangun rumah-rumahnya dari batu dan beratap genteng, atau mengumpulkan uangnya untuk membangun rumah batu. Mereka juga belajar dari orang Eropa tentang berbagai hal, antara lain sering berpergian naik dos a dos, membeli lampu gantung dan sebgainya yang dulu tidak dikenalnya. Dalam hal membangun perumahan, mereka ada kemajuan, tetapi tidak demikian halnya dalam hal karya seni”.
Seni pahat makin langka, yaitu hanya untuk rumah orang-orang bangsawan dan terkemuka atau untuk pahatan pintu dan bagian-bagian rumah lainnya, juga untuk almari, warana (schutsel) dan sejenisnya. Bangunan rumah Jawa memiliki bermacam-macam bentuk atap. Nama atau gaya sesuatu bangunan rumah justru ditentukan menurut masing-masing bentuk atapnya, misalnya : rumah bentuk joglo, limasan, tajug, kampung, dan sebagainya.
Bentuk atap bangunan rumah merupakan penentu nama sesuatu gaya bangunan rumah di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Adapun di Eropa (barat) orang menggunakan bentuk tiang atau kepala tiang sebagai penentu ciri suatu gaya bangunan. Hal ini merupakan kelanjutan pengaruh gaya bangunan Yunani dan Romawi kuno. Nama-nama gaya suatu bangunan atau karya seni tersebut dihubungkan dengan beberapa kelompok seniman yang identik dengan suatu priode zaman.
Dengan penonjolan-penonjolan tersebut, maka terdapat suatu mazhab (school) yang merupakan karya seniman, yang dalam hal inidapat terjadi dan akan memberi corak yang agak berbeda dari bentuk induknya. Adapun tingkat keberhasilan suatu karya tergantung keahlian si tukang dan menurut perintah dari si pemesan.
Peran para pemilik uang (orang-orang kaya) sebagai pemesan dan pemberi order. Sebenarnya mereka tidak menilai karya seni imitasi itu sebagai karya seni yang tinggi, tetapi mereka menilainyatinggi juga karena sedang menjadi trend.
Hadirnya pegawai bangsa Eropa (Belanda) beserta istri yang menguasai berbagai perusahaan perkebunan, pelayaran, perkeretaapian, dan perbankan, mendorong corak bangunan rumah gaya Indis kembali lebih mendekati gaya Eropa.
C. Hiasan Kemuncak Tadhah Angin dan Sisi Depan Rumah
Di Indonesia, hiasan bagian atap rumah kurang mendapat perhatian. Pada bagunan Eropa, hiasan kemuncak mendapat perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan,status sosial maupun kepercayaan.
Tradisi menyebutkan bahwa hiasan kepala kerbau atau tanduknya adalah lambang kesuburan tanah dan juga sebagai peolak roh-roh jahat. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad ke-16 mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan. Di Belanda, dulu banyak rumah-rumah penduduk pada atapnya diletakkan wind wijzer (penunjuk arah angin) yang berfungsi sebagai hiasan rumah. Akan tetapi, di Indonesia hiasan kerbau atau tanduk kerbau seperti tersebut diatas mempunyai arti tersendiri yang mendalam.
Cara membuat dan meletakkan hiasan kepala kerbau pada bangunan-bangunan di Batak atau Sulawesi misalnya, disertai dengan upacara-upacar khusus dan pembuatannya tidak dikerjakan oleh sembarangan orang, apalagi untuk sekedar iseng atau pengisi waktu. Tongkat runcing yang terletak di atas kemuncak gereja berarti “tertinggi”, atau Yang Esa”, baik sekali untuk penunjuk arah angin, yang sekaligus untuk meletakkan penangkal petir.
Hiasan kemuncak dengan bagian sisi depan rumah gaya Indis di Jawa tidak terlalu banyak digunakan, baik pada bangunan di kota maupun rumah di pegunungan dan pedesaan. Semangat menghias rumah yang terdapat di belanda tidak terjadi pada masyarakat Indis di Jawa. Penulis memperkirakan, hal demikian terjadi akibat tekanan ekonomi atau kemiskinan zaman Malaise dan akibat Perang Dunia I.
Ragam hias dibuat tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga dapat menjadi suatu ciri bangunan. Umumnya rumah gaya Indis beragam hias sederhana, kecuali rumah orang cina yang kaya.
Di negeri Belanda, bangunan rumah kayu yang setengah batu memiliki sisi depan atap yang meruncing. Bentuk semacam ini menjadi ciri umum bangunan rumah gaya Indis awal abad ke-19. Pada dekade akhir abad ke-19, gaya bangunan ini banyak diubah dengan menggunakan gaya yang lebih modern dari Eropa mutakhir, yaitu bangunan yang tertutup. Bentuk tertutup pada bangunan gaya Indis yang mulai banyak digunakan pada akhir abad ke-20 ini, diduga karena derasnya arus kehadiran orang Eropa untuk menangani perusahaan-perusahaan perkebunan, pelayaran, bank dan sebagainya. Namun beruntung bahwa beberapa di antaranya masih ditemukan di berbagai kota di Jawa.
Rumah-rumah dengan bentuk atap runcing berderet sepanjang jalan di Belanda. Bentuk bagian depan atap seperti ini di Jawa jarang dubuat orang. Di kota Yogya, atap semacam ini terdapat di jalan Malioboro. Semua ragam hias itu banyak mengandung makna simbolik, tetapi kemudian lambatlaun benar-benar hanya menjadi hiasan belaka.
Pada umumnya, puncak tadhah angin (tympanon) berhiaskan mahkota dengan motif-motif ideal, dekoratif dan simbolik, tetapi yang selalu menjadi pilihan ialah lambang berupa perwujudan yang dianggap memiliki kekuatan di atas kemampuan manusia (supernatural), yang dianggap sebagai suatu kenyataan yang tertinggi dan mendalam pada kehidupan manusia. Hiasan tampak depan bangunan di Twente ini diartikan juga sebagai jiwa, budi, angan-angan, badan halus, atau lelembut. Lambang jiwa (geest) pada rumah, memberi kesan dan diharapkan dapat memberi perlindungan pada jiwa keluarga petani atau pemiliknya.
Sejarah lambang-lambang yang dipahatkan pada papan lis tadhah angin (tympanon) dapat dibedakan menjadi tiga babakan waktu, yaitu:
1. Lambang dari masa Pra-Kriste (zaman kekafiran Jerman), antara lain diwujudkan dengan gambar pohon hayat, kepala kuda atau roda matahari, yang kemudian pada masa Kristen ditambah dengan lambang salib;
2. Masa Kristen, berupa lambang gambar salib, gambar hati (hart), jangkar (angker), yaitu sebagai lambang kepercayaan, harapan dan kejujuran atau kesetiaan; dan
3. Khusus lambang-lambang dari agama Roma Katolik, yaitu berupa miskelk dan hostie.
Seperti angsa yang menjadi binatang pujaan (stamdier) di Friesland, kuda adalah binatang pujaan (stamdier) pada bangsa Saksen, yang melambangkan kekuatan yang luar biasa. Kuda dapat diartikan untuk mendapatkan keselamatan bangunan dan penghuninya. Gambar dua kepala kuda juga dianggap sebagai tanda penghormatan kepada leluhur bangsa Saksen.
Lambang berupa petir (kilat) merupakan lambang untuk penolak petir (bledheg) dan penyakit. Tympanon rumah petani Saksis digunakan untuk lambang melawan sambaran petir dan untuk melindungi manusia penghuninya, serta hewan peliharaan dari kematian.
Bagi bagunan rumah gaya Indis di Indonesia, lambang seperti tersebut di atas sudah kehilangan makna sebagai hiasan yang mengandung arti simbolik, tetapi berfungsi hanya sebagai hiasan belaka. Sangat disayangkan, dalam membangun rumah tinggal dan rumah pertanian, para pembangun rumah tidak selalu memperhitungkan penggunaan lukisan dan ornamen-ornamen kuno.
Di rumah mewah (landhuizen) penempatan lambang-lambang masa kafir (dewa-dewi) zaman Yunani-Romawi kuno seperti yang terdapat di rumah Reiner de Klerck di Jakarta, pastilah dibuat dengan kesadaran penuh. Sangat disayangkan, lambang seperti contoh diatas tidak lagi dikenal oleh para penghuni rumah gaya Indis masa sekarang ini. Dengan demikian, ada mata rantai yang putus (missing link) untuk mendapat kejelasan. Bergabagai dugaan dapat timbul, misalnya gambar makeelar berupa pohon hayat di atas Tympanon sekolah BOPKRI di Jalan Sudirman, Yogyakarta, dapat diartikan seperti pohon hayat (kalpataru atau kalpawreksa). Gambar itu banyak dikenal berasal dari pengaruh Jawa-Hindu, yang dapat disamakan dengan kekayon atau gunungan pada wayang kulit purwa masa kini.
1. Macam-macam Hiasan Kemuncak da Atap Rumah
a. Penunjuk Arah Tiupan Angin (Windwijzer)
b. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie) dan Cerobong Asap Semu
c. Hiasan Kemuncak Tampak-Depan (Geveltoppen)
1) Lambang Manrune
2) Hiasan oelebord atau uilebord
3) Hiasan berupa makeelar
d. Ragam Hias Pasir dari Material Logam
2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Selain terdapat dikencak (Topgevel) dan tadhah angin (Tympanon), ragam hias juga terdapat di bagian tubuh bangunan, misalnya pada lubang-lubang angin (bovenlicht) yang terletak di atas pintu atau jendela.
Lubang angin pada rumah gaya Indis di Jawa hanya dihias sederhana saja, yaitu lukisan beberapa nak panah yang ujung-ujungnya menuju ke arah pusat. Batang tiang gaya Doria, Ionia, dan Korinthia –masing-masing memiliki arti dan lambang tersendiri. Batang-batang tiang inikebanyakan bergaya Doria. Pada bangunan besar, seperti istana gubernur jenderal atau keraton raja-raja Jawa Yogyakarta dan Solo, batang tiang bagiandalamnya (pagelaran, serambi depan dan belakang) dihias dengan gaya Ionia dan Korinthia.
Gaya Doria digunakan karena sesuai watak dan jiwa bangsa Doria yang berjiwa militer, yaitu kokoh, kuat, perkasa, sekaligus sebagai lambang kekuasann. Sementara itu gaya Ionia sesuai dengan watak jiwa bangsa Ionaia yang menyukai keindahan dan keserasian. Gaya Korinthia diciptakan oleh para penguasa kota Korinthia yang kaya dan makmur pada abad ke-5 sebelum Masehi.
Gaya Ionia dan Orinthia banyak digunakan untuk menghias bangunan-bangunan besar dan megah milik para raja atau pengusaha jajahan, khususnya untuk batang-batang tiang sisi dalam bangunan. Sebagai contoh, gaya ini di Jawa terdapat di Istana Presiden di Jakarta, Gedung Agung di Yogyakarta, serta Pagelaran Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Kepala tiang gaya komposit merupakan perpaduan dua gaya, yaitu Ionia dan Korinthia yang tampak lebih megah dan mewah. Batang-batang tiang gaya komposit untuk menyangga atas serambi (saka emper) Keraton Kesultanan dan bekas rumah gubernur (kini Gedung Agung Yogyakarta) menjadikan bangunan tampak lebih megah.